WHAT'S NEW?
Loading...

ETIKA BISNIS DAN PENDIDIKAN





Dalam sistem perekonomian pasar bebas, perusahaan diarahkan untuk mencapai tujuan mendapatkan keuntungan  semaksimal mungkin, sejalan dengan prinsip efisiensi. Namun, dalam mencapai tujuan tersebut pelaku bisnis kerap  menghalalkan berbagai cara tanpa peduli apakah tindakannya melanggar etika dalam berbisnis atau tidak.

Hal ini terjadi akibat manajemen dan karyawan yang cenderung mencari keuntungan semata sehingga terjadi  penyimpangan norma-norma etis, meski perusahaan perusahaan tersebut memiliki code of conduct dalam berbisnis  yang harus dipatuhi seluruh organ di dalam organisasi. Penerapan kaidah good corporate governace di perusahaan swasta, BUMN, dan instansi pemerintah juga masih lemah. Banyak perusahaan melakukan pelanggaran, terutama dalam  pelaporan kinerja keuangan perusahaan.

Prinsip keterbukaan informasi tentang kinerja keuangan bagi perusahaan terdaftar BEJ misalnya seringkali dilanggar dan jelas merugikan para pemangku (stakeholders), terutama pemegang saham dan masyarakat luas  lainnya. Berbagai kasus insider trading dan banyaknya perusahaan publik yang disuspend perdagangan sahamnya oleh otoritas bursa menunjukkan contoh praktik buruk dalam berbisnis. Belum lagi masalah kerusakan lingkungan yang terjadi akibat eksploitasi sumber daya alam dengan alasan mengejar keuntungan setinggi-tingginya tanpa memperhitungkan daya dukung ekosistem lingkungan.

Perubahan lingkungan yang sangat dinamis, baik yang dipicu oleh kekuatan eksternal maupun internal telah memaksa para pelaku bisnis untuk tidak saja harus selalu meningkatkan laba dan  kinerja, tetapi juga mesti peduli tarhadap problem sosial. Semakin besarnya kekuasaan para pelaku bisnis ternyata telah membawa dampak yang signifikan terhadap kualitas kehidupan manusia, baik individu, masyarakat, maupun seluruh kehidupan di jagat ini. Fenomena inilah yang menyulut wacana tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR). Gagasan CSR menekankan bahwa tanggung jawab perusahaan bukan lagi sekadar aktivitas ekonomi (menciptakan profit demi kelangsungan bisnis), melainkan juga tanggung jawab sosial termasuk lingkungan. Tanggung jawab sosial dunia bisnis tidak saja berorientasi pada komitmen sosial yang menekankan pada pendekatan kemanusiaan,  belas kasihan, keterpanggilan religi atau keterpangilan moral, dan semacamnya, tetapi menjadi kewajiban yang sepantasnya dilaksanakan oleh para pelaku bisnis dalam ikut serta mengatasi permasalahan sosial yang menimpa masyarakat. Dalam perkembangannya praktik CSR telah banyak dilakukan secara sadar, artinya menerapkan CSR adalah investasi untuk pertumbuhan dan keberlanjutan bisnis sehingga tak lagi dilirik sebagai pusat biaya, melainkan sentra laba. Bahkan, kini praktik CSR sudah menjadi tren global.

Bisa dibayangkan, dampak nyata akibat ketidak pedulian pelaku bisnis terhadap etika berbisnis adalah budaya korupsi  yang semakin serius dan merusak tatanan sosial budaya masyarakat. Jika ini berlanjut, bagaimana mungkin investor  asing tertarik menanamkan modalnya di negeri kita? Situasi ini menimbulkan pertanyaan tentang mengapa kesemua ini terjadi? Apakah para pengusaha tersebut tidak mendapatkan pembelajaran etika bisnis di bangku kuliah? Apa yang salah  dengan pendidikan kita, karena seharusnya lembaga pendidikan berfungsi sebagai morale force dalam menegakkan nilai-nilai kebenaran dalam berbisnis?

Bagaimana sebenarnya etika bisnis diajarkan di sekolah kalaupun ada dan di perguruan tinggi? Etika bisnis merupakan mata kuliah yang diajarkan di lingkungan pendidikan tinggi yang menawarkan program pendidikan bisnis dan  manajemen. Beberapa kendala sering dihadapi dalam menumbuh kembangkan etika bisnis di dunia pendidikan.

Pertama, kekeliruan persepsi masyarakat bahwa etika bisnis hanya perlu diajarkan kepada mahasiswa program  manajemen dan bisnis karena pendidikan model ini mencetak lulusan sebagai mencetak pengusaha. Persepsi demikian  tentu tidak tepat. Lulusan dari jurusan / program studi nonbisnis yang mungkin diarahkan untuk menjadi pegawai tentu harus memahami etika bisnis. Etika bisnis adalah acuan bagi perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha, termasuk dalam berinteraksi dengan stakeholders, termasuk tentunya karyawan.

Etika bisnis sebaik apa pun yang dicanangkan perusahaan dan dituangkan dalam pedoman perilaku, tidak akan berjalan tanpa kepatuhan karyawan dalam menaati norma-norma kepatutan dalam menjalankan aktivitas perusahaan. Kedua, pada program pendidikan manajemen dan bisnis, etika bisnis diajarkan sebagai mata kuliah tersendiri dan tidak terintegrasi dengan pembelajaran pada mata kuliah lain. Perlu diingat bahwa mahasiswa sebagai subjek didik harus mendapatkan pembelajaran secara komprehensif. Integrasi antara aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif dalam proses  pembelajaran harus diutamakan. Sehingga masuk akal apabila etika bisnis aspek afektif sikap dalam hal ini disisipkan di berbagai mata kuliah yang ditawarkan. Ketiga, metode pengajaran dan pembelajaran pada mata kuliah ini cenderung monoton. Pengajaran lebih banyak menggunakan metode ceramah langsung.

Kalaupun disertai penggunaan studi kasus, sayangnya tanpa disertai kejelasan pemecahan masalah dari kasus-kasus yang dibahas. Hal ini disebabkan substansi materi etika bisnis lebih sering menyangkut kaidah dan norma yang cenderung abstrak dengan standar acuan tergantung persepsi individu dan institusi dalam menilai etis atau tidaknya  suatu tindakan bisnis. Misalnya, etiskah mengiklankan sesuatu obat dengan menyembunyikan informasi tentang indikasi pemakaian? Atau membahas moral hazard pada kasus kebangkrutan perusahaan sekelas Enron di Amerika Serikat. Keempat, etika bisnis tidak terdapat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah.

Nilai-nilai moral dan etika dalam berperilaku bisnis akan lebih efektif diajarkan pada saat usia emas (golden age) anak, yaitu usia 4–6 tahun. Karena itu, pengajarannya harus bersifat tematik. Pada mata pelajaran agama, misalnya, guru bisa mengajarkan etika bisnis dengan memberi contoh bagaimana Nabi Muhammad SAW berdagang dengan tidak mengambil keuntungan setinggi langit. Kelima, orangtua beranggapan bahwa sesuatu yang tidak mungkin mengajarkan anak di rumah tentang etika bisnis karena mereka bukan pengusaha. Pandangan sempit ini dilandasi pemahaman bahwa etika bisnis adalah urusan pengusaha.

Padahal, sebenarnya penegakan etika bisnis juga menjadi tanggung jawab kita sebagai konsumen. Orangtua dapat mengajarkan etika bisnis di lingkungan keluarga dengan jalan memberi keteladanan pada anak dalam menghargai hak atas kekayaan intelektual (HaKI), misalnya dengan tidak membelikan mereka VCD, game software, dan produk bajakan lain dengan alasan yang penting murah. Keenam, pendidik belum berperan sebagai model panutan dalam pengajaran  etika bisnis. Misalnya masih sering kita mendapati fenomena orangtua siswa memberi hadiah kepada gurunya pada saat kenaikan kelas dengan alasan sebagai rasa terima kasih dan ikhlas.

Pendidik menerima hadiah tersebut dengan senang hati dan dengan sengaja menunjukkan hadiah pemberian orangtua siswa tersebut kepada teman sejawatnya dengan memuji-muji nilai atau besaran hadiah tersebut. Tidakkah kita sadari, kondisi seperti ini akan memberikan kesan mendalam pada anak kita? Mengurangi praktik pelanggaran etika dalam  berbisnis merupakan tanggung jawab kita semua. Sebagai pengusaha, tujuan memaksimalkan profit harus diimbangi peningkatan peran dan tanggung jawab terhadap masyarakat. Perusahaan turut melakukan pemberdayaan kualitas hidup masyarakat melalui program corporate social responsibility (CSR).

Pada saat kita berperan sebagai konsumen, seyogianya memahami betul hak dan kewajiban dalam menghargai karya orang lain. Orangtua harus menjadi model panutan engan memberikan contoh baik tentang perilaku berbisnis kepada  anak sehingga kelak mereka akan menjadi pekerja atau pengusaha yang mengerti betul arti penting etika bisnis. Pemerintah sebagai regulator pasar turut berperan mengawasi praktik negatif para pelaku ekonomi. Sudah saatnya pemerintah mempertimbangkan etika bisnis termuat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Peran aktif para  pelaku ekonomi ini pada akhirnya akan menjadikan dunia bisnis di Tanah Air surga bagi investor asing.

Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain ialah: 

1. Pengendalian diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan menakan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetap penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etis".

2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya. 

3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetap informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.

4. Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan  sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.

Kesimpulan komentar :
            Dalam dua hal tersebut memang sangat saling terkait, karena dunia bisnis harus diawali dari dunia pendidikan (formal atau non formal), materi yang tawarkan atau diberikan oleh bangku pendidikan memang sangat variatif dalam hal penyampaiannya ada yang monoton dan ada yang mengeksplor materi tersebut. Tetapi yang jadi pembahasan kita adalah efek apa yang ditimbulkan oleh pendidikan etika bisnis dan pendidikan dibangku pendidikan formal maupun non formal.
           


Pada pembahasan paragraf terakhir artikel tersebut dijelaskan bahwa pendidikan etika bisnis haruslah perlu dipikirkan oleh  pemerintah dari proses sampai dengan hasil yang diperoleh, dengan sistem tersebut etika bisnis sudah tentu dikenal oleh anak cucu bangsa sejak dini ( dari bangku Sekolah Dasar sampai dengan Perkuliahan) karena penanaman moral pada anak didik haruslah dari usia dini.

DAFTAR PUSTAKA

N.Nuryesrnan M, Moral dan Etika Dalam Dunia Bisnis, Bank dan Manajemen, Mei/Juni 1996.

Purba Victor, Hukum Bisnis Dalam Kegiatan Bisnis Para Manajer, Manajemen, 1993.

Dunia Bisnis, Warta Ekonomi, No. 29, Desember 1994.

Hanungbayu, (2008). “Optimalisasi Penerapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dengan Menggunakan Metode Value Chain Management “. /www.hanungbayu.com

1 comment: Leave Your Comments