WHAT'S NEW?
Loading...

Makalah Pajak Hotel



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat melaksanakan otonomi khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah, Pemerintah menetapkan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya dengan menetapkan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali atas UU No.34 Tahun 2000 dan UU No.18 Tahun 1997.
UU No.28 Tahun 2009 yang baru-baru ini disahkan oleh Pemerintah diharapkan dapat lebih mendorong peningkatan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah. Dalam UU tersebut, pajak daerah dan retribusi daerah menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah sehingga terdapat perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah serta adanya pemberian diskresi (keleluasaan) dalam penerapan tarif.

1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan pajak hiburan ?
1.2.2 Apa yang dimaksud dengan pajak hotel ?

1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang diharapkan dari penulisan ini adalah:
1.3.1 Untuk memenuhi tugas mata kuliah Perpajakan
1.3.2 Untuk mengetahui apa tujuan kenaikan tarif Pajak Hiburan dan Pajak Hotel
1.3.3 Untuk mengetahui tantangan apa saja yang dihadapi dalam penerapan tarif  Pajak Hiburan dan Pajak Hotel.




BAB II
PEMBAHASAN


2.1    Pajak Hotel
2.1.1 Pengertian Pajak Hotel

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 1 angka 20 dan 21, Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel. Sedangkan yang dimaksud dengan hotel adalah fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari sepuluh.
Pengenaan Pajak Hotel tidak mutlak ada pada seluruh daerah kabupaten atau kota yang ada di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah kabupaten atau kota untuk mengenakan atau tidak mengenakan suatu jenis pajak kabupaten/kota. Oleh karena itu, untuk dapat dipungut pada suatu daerah kabupaten atau kota, pemerintah daerah harus terlebih dahulu menerbitkan peraturan daerah tentang Pajak Hotel.
Peraturan itu akan menjadi landasan hukum operasional dalam teknis pelaksanaan pengenaan dan pemungutan Pajak Hotel di daerah kabupaten atau kota yang bersangkutan.

2.1.2 Dasar Pemungutan Pajak Hotel
Pemungutan Pajak Hotel di Indonesia saat ini didasarkan pada dasar hukum yang jelas dan kuat, sehingga harus dipatuhi oleh masyarakat dan pihak yang terkait. Dasar hukum pemungutan Pajak Hotel pada suatu kabupaten/kota adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
2. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
3. Peraturan Daerah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.
4. Peraturan daerah kabupaten/kota yang mengatur tentang Pajak Hotel.
5. Keputusan bupati/walikota yang mengatur tentang Pajak Hotel sebagai aturan pelaksanaan Peraturan Daerah tentang Pajak Hotel pada kabupaten/kota dimaksud.

2.1.3 Objek Pajak Hotel
Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga dan hiburan. Jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel adalah fasilitas telepon, facsimile, teleks, internet, fotokopi, pelayanan cuci, setrika, transportasi, dan fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola hotel. (Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 1 tahun 2011 Bab 3 Pasal 4 tentang Objek Pajak Hotel). Dalam pengenaan Pajak Hotel, yang menjadi objek pajak termasuk pelayanan sebagaimana Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 1 tahun 2011 Bab 3 Pasal 6 tentang Pajak Hotel.
1. Fasilitas penginapan atau fasilitas tinggal jangka pendek. Dalam pengertian rumah penginapan termasuk rumah kos dengan jumlah kamar sepuluh atau lebih yang menyediakan fasilitas seperti rumah penginapan. Fasilitas penginaapan/fasilitas tinggal jangka pendek antara lain: gubuk pariwisata (cottage), motel, wisma pariwisata, pesanggarahan (hostel), losmen, dan rumah penginapan.
2. Pelayanan penunjang sebagai kelengkapan fasilitas penginapan atau tempat tinggal jangka pendek yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan. Pelayanan penunjang, antara lain, telepon, faksimile, teleks, fotokopi, pelayanan cuci, setrika, taksi dan pengangkutan lainnya yang disediakan atau dikelola hotel.
3. Fasilitas olah raga dan hiburan yang disediakan khusus untuk tamu hotel, bukan untuk umum. Fasilitas olah raga dan hiburan antara lain: pusat kebugaran (fitness corner), kolam renang, tenis, golf, karaoke, pub, diskotik, yang disediakan atau dikelola hotel.
4. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan atau pertemuan di hotel.

2.1.4 Bukan Objek Pajak Hotel
Menurut Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2006 Bab 2 Pasal 2 Ayat 3 tentang “Bukan Objek Pajak Hotel”,
a. Penyewaan rumah atau kamar, apartemen dan atau fasilitas tempat tinggal lainnya yang tidak menyatu dengan hotel.
b. Pelayanan tinggal di asrama dan pondok pesantren.
c. Fasilitas olah raga dan hiburan yang disediakan di hotel yang dipergunakan oleh bukan tamu hotel dengan pembayaran.
d. Pertokoan, perkantoran; perbankan, salon yang dipergunakan oleh umum di hotel.
e. Pelayanan perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh hotel dan dapat dimanfaatkan oleh umum
Menurut Siahaan, Marihot P.(2010), pada Pajak Hotel tidak semua pelayanan yang diberikan oleh penginapan dikenakan pajak. Ada beberapa pengecualian yang tidak termasuk objek pajak, yaitu hal-hal di bawah ini.
1. Jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
2. Jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya. Pengecualian apartemen, kondominium, dam sejenisnya didasarkan atas izin usahanya.
3. Jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan.
4. Jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti social lainnya yang sejenis.
5. Jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh hotel yang dapat dimanfaatkan oleh umum.


2.1.5 Subjek Pajak dan Wajib Pajak Hotel
Menurut Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2006 Bab 2 Pasal 3 Ayat 1 dan 2 tentang “Subjek Pajak dan Wajib Pajak Hotel”, subjek pajak adalah pribadi atau badan yang melakukan pembayaran atas pelayanan hotel. Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan hotel, yaitu orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan usaha di bidang jasa penginapan.

2.1.6 Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan Pajak Hotel
Menurut Siahaan, Marihot P.(2010), dasar pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada hotel. Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi sebesar sepuluh persen dan ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. Besarnya pokok pajak hotel yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Secara umum perhitungan pajak hotel adalah dengan rumus sebagai berikut :
Pajak terutang = Tarif pajak X Dasar pengenaan pajak
= Tarif pajak X Jumlah pembayaran yang dilakukan kepada hotel.

2.1.7 Sistem Pemungutan Pajak Hotel
Menurut Siahaan, Marihot P.(2010), dalam praktek pemungutan pajak hotel menggunakan dua sistem yaitu :
1. Sistem langsung.
Sistem langsung yaitu wajib pajak langsung membayar pajak ke Bendahara Khusus Pemerintah (BKP) dinas pendapatan daerah dan kemudian Bendahara Khusus Pemerintah menyerahkan ke Bank Pembangunan (BPD) Daerah sebagai pemegang kas daerah.
2. Sistem Tidak Langsung. Yaitu tugas pungut dinas pendapatan daerah memungut pajak ke tempat wajib pajak berada kemudian menyertakan ke Bendahara Khusus Pemerintah (BKP) pendapatan daerah dan diteruskan ke Bank Pembangunan Daerah (BPD).

2.1.8 Potensi dan Hambatan Pajak Hotel
Potensi merupakan daya, kemampun atau kesanggupan untuk menghasilkan penerimaan daerah, atau kemampuan yang pantas diterima pada keadaan seratus persen (Kesit Bambang Prakosa, 2003). Potensi pajak lebih besar daripada target yang ingin dicapai, apabila penerimaan pajak dapat mendekati target, maka pajak tersebut sudah dapat dikatakan sebagai pajak yang efektif dan efisien, nberrti pajak tersebut sudah termasuk pajak dalam kategori pajak yang mempunyai potensi. Berarti target pajak tersebut masih dapat ditingkatkan.
Dalam peningkatan suatu target untuk mendekati potensi yang ada, maka perlu juga diadakan pembenahan baik sarana maupun prasarana obyek pajak tersebut, dalam hal ini adalah hotel atau dengan adanya pembangunan sarana yang baru sehingga obyek pajak semakin meningkat dan potensi juga semakin meningkat. Sedangkan yang dimaksud dengan hambatan adalah suatu kejadian atau keadaan yang menyebabkan kurang lancarnya kegiatan yang sedang dijalankan. Dalam hubungannya dengan perpajakan maka hambatan yang terjadi adalah pada masalah pemungutan pajak terhadap wajib pajak, tenaga pemungut, peraturan-peraturan dan faktor-faktor lain yang ada.

2.2 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pajak Hotel
2.2.1  Jumlah Wisatawan
Wisatawan adalah orang yang melakukan perjalanan untuk berlibur, berobat, berbisnis, berolahraga serta menuntut ilmu dan mengunjungi tempat-tempat yang indah atau sebuah negara tertentu. Organisasi Wisata Dunia (WTO), menyebut wisatawan sebagai pelancong yang melakukan perjalanan pendek. Menurut organisasi ini, wisatawan adalah orang yang melakukan perjalanan ke sebuah daerah atau negara asing dan menginap minimal 24 jam atau maksimal enam bulan di tempat tersebut.
Menurut pandangan psikologi, wisata adalah sebuah sarana memanfaatkan waktu luang untuk menghilangkan tekanan kejiwaan akibat pekerjaan yang melelahkan dan kejenuhan. Adapun ilmu sosiologi menilai pariwisata sebagai rangkaian hubungan yang dijalin oleh pelancong yang bermukim sementara di suatu tempat dengan penduduk lokal.
Krapf Hunziker, seorang pakar pariwisata meyakini bahwa wisata adalah munculnya serangkaian hubungan dari sebuah perjalanan temporal yang dijalin oleh seorang yang bukan penduduk asli. Berdasarkan seluruh definisinya, pariwisata adalah fenomena yang terus berkembang. Lebih dari itu, industri ini telah menyelamatkan sejumlah negara dari krisis, dan memarakkan pertumbuhan ekonominya.
Berikut ini merupakan jenis-jenis dan karakteristik wisatawan (Karyono, 1997:21) :
1. Wisatawan lokal (local tourist), yaitu wistawan yang melakukan perjalanan wisata ke daerah tujuan wisata yang berasal dari dalam negeri.
2. Wisatawan mancanegara (international tourist), yaitu wisatawan yang mengadakan perjalanan ke daerah tujuan wisata yang bersal dari luar negeri.
3. Holiday tourist adalah wisatawan yang melakukan perjalanan ke daerah tujuan wisata dengan tujuan untuk bersenang-senang atau untuk berlibur.
4. Business tourist adalah wisatawan yang bepergian ke daerah tujuan wisata dengan tujuan untuk urusan dagang atau urusan profesi.
5. Common interest tourist adalah wisatawan yang bepergian ke daerah tujuan wisata dengan tujuan Khusus seperti studi ilmu pengetahuan, mengunjungi sanak keluarga atau untuk berobat dan lain-lain.
6. Individual tourist adalah wisatawan yang bepergian ke daerah tujuan wisata secara sendiri-sendiri.
7. Group tourist adalah wisatawan yang bepergian ke daerah tujuan wisata secara bersama-sama atau berkelompok.

Hotel dikelola secara komersil dengan memberikan fasilitas penginapan untuk masyarakat umum dengan fasilitas sebagai berikut :
1) Jasa penginapan
2) Pelayanan makanan dan minuman
3) Pelayanan barang bawaan
4) Pencucian pakaian
5) Penggunaan fasilitas perabot dan hiasan-hiasan yang ada
didalamnya.
Penentuan jenis hotel tidak terlepas dari kebutuhan pelanggan dan ciri atau sifat khas yang dimiliki wisatawan (Tarmoezi, 2000). Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat dari lokasi dimana hotel tersebut dibangun, sehingga dikelompokkan menjadi:
a. City Hotel
Hotel yang berlokasi di perkotaan, biasanya diperuntukkan bagi masyarakat yang bermaksud untuk tinggal sementara (dalam jangka waktu pendek). City Hotel disebut juga sebagai transit hotel karena biasanya dihuni oleh para pelaku bisnis yang memanfaatkan fasilitas dan pelayanan bisnis yang disediakan oleh hotel tersebut.
b. Residential Hotel
Hotel yang berlokasi di daerah pinngiran kota besar yang jauh dari keramaian kota, tetapi mudah mencapai tempat-tempat kegiatan usaha. Hotel ini berlokasi di daerah-daerah tenang, terutama karena diperuntukkan bagi masyarakat yang ingin tinggal dalam jangka waktu lama. Dengan sendirinya hotel ini diperlengkapi dengan fasilitas tempat tinggal yang lengkap untuk seluruh anggota keluarga.
c. Resort Hotel
Hotel yang berlokasi di daerah pengunungan (mountain hotel) atau di tepi pantai (beach hotel), di tepi danau atau di tepi aliran sungai. Hotel seperti ini terutama diperuntukkan bagi keluarga yang ingin beristirahat pada hari-hari libur atau bagi mereka yang ingin berekreasi.
d. Motel (Motor Hotel)
Hotel yang berlokasi di pinggiran atau di sepanjang jalan raya yang menghubungan satu kota dengan kota besar lainnya, atau di pinggiran jalan raya dekat dengan pintu gerbang atau batas kota besar. Hotel ini diperuntukkan sebagai tempat istirahat sementara bagi mereka yang melakukan perjalanan dengan menggunakan kendaraan umum atau mobil sendiri. Oleh karena itu hotel ini menyediakan fasilitas garasi untuk mobil Jumlah Hotel

2.2.3 Tingkat Hunian Hotel
Tingkat hunian hotel merupakan suatu keadaan sampai sejauh mana jumlah kamar terjual, jika diperbandingkan dengan seluruh jumlah kamar yang mampu untuk dijual (Hanggara, 2009). Dengan tersedianya kamar hotel yang memadai, para wisatawan tidak segan untuk berkunjung ke suatu daerah, terlebih jika hotel tersebut nyaman untuk disinggahi. Oleh karena itu, industri pariwisata terutama kegiatan yang berkaitan dengan penginapan yaitu hotel, akan memperoleh pendapatan yang semakin banyak apabila wisatawan tersebut semakin lama menginap (Rudi, 2001).

2.4 Pengaruh wisatawan terhadap penerimaan pajak
Sebagai salah satu contoh  kota Yogyakarta tujuan wisata, Kota Yogyakarta banyak dikunjungi oleh wisatawan, baik itu wisatawan domestik maupun mancanegara. Para wisatawan pada umumnya tertarik dengan sejarah, keanekaragaman budaya, maupun panorama alamnya. Dalam hal ini, pemerintah daerah mengenakan pajak pada tempat-tempat wisata. Adanya pengenaan pajak itu akan memberikan keuntungan pada penerimaan pajak daerah.
Di samping mendapat penghasilan pajak dari tempat-tempat wisata, pemerintah daerah juga akan mendapat penghasilan dari pajak yang dikenakan hotel terhadap tamunya. Semakin banyak jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kota Yogyakarta dan menginap di hotel, semakin tinggi pula penerimaan Pajak Hotel Kota Yogyakarta.
Keberadaan rumah penginapan/hotel yang terdapat di Kota Yogyakarta memberikan keuntungan bagi Pemerintah Daerah, yaitu melalui penerimaan Pajak Hotel. Dengan adanya Peraturan Daerah yang mengatur tentang pengenaan pajak kepada pengguna jasa hotel atau rumah penginapan, keberadaan jumlah hotel atau rumah penginapan yang ada di suatu wilayah kota juga menguntungkan bagi  pemerintah. Apabila jumlah rumah penginapan bertambah maka diharapkan dapat meningkatkan penerimaan Pajak Hotel.

2.5 PAJAK HIBURAN
2.5.1 Pengertian Pajak Hiburan
Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. Selain itu, Pajak Hiburan dapat pula diartikan sebagai pungutan daerah atas penyelenggaraan hiburan. Dalam pemungutan Pajak Hiburan terdapat beberapa terminologi yang perlu diketahui. terminologi tersebut antara lain:
·         Hiburan adalah semua jenis pertunjukkan, permainan, permainan  ketangkasan, dan atas keramaian dengan nama dan bentuk apa pun, yang ditontotn atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk penggunaan fasilitas untuk berolahraga.
·         Penyelenggara hiburan adalah orang pribadi atau badan yang bertindak baik untuk atas namanya sendiri atau badan yang bertindak baik untuk atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain yang menjadi tanggungannya dalam menyelenggarakan suatu hiburan.
·         Penonton atau pengunjung adalah setiap orang yang menghadiri suatu hiburan untuk melihat dan atau mendengar atau menikmatinya atau menggunakan fasilitas yang disediakan oleh penyelenggara hiburan, kecuali penyelenggara, karyawan, artis (para pemain), dan petugas yang menghadiri untuk melakukan tugas pengawasan.
·         Pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima dalam bentuk apa pun untuk harga pengganti yang diminta atau seharusnya diminta wajib pajak sebagai penukar atas pemakaian dan atau pembelian jasa hiburan serta fasilitas penunjangnya termasuk pula semua tambahan dengan nama apa pun juga yang dilakukan oleh wajib pajak yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan hiburan. Termasuk dalam pengertian pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima, termasuk yang akan diterima, antara lain pembayaran yang dilakukan tidak secara tunai.
·         Tanda masuk adalah semua tanda atua alat atau cara yang sah dengan nama dan dalam bentuk aapa pun yang dapat digunakan untuk menonton, menggunakan fasilitas, atau menikmati hiburan. Tanda atau alat atau cara yang sah adalah berupa tanda masuk yang dilegalsasu oleh Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten/Kota. Termasuk tanda masuk di sini adalah tanda masuk dalam bentuk dan dengan nama apa pun, misalnya karcis, tiket undangan, kartu langganan, kartu anggota (membership), dan sejenisnya.
·         Harga tanda masuk, selanjutnya disingkat HTM, adalah bayaran nilai uang yang tercantum pada tanda masuk yang harus dibayar oleh penonton atau pengunjung.

2.5.2 Objek Pajak
Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 42 bahwa:
1.    Objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan Hiburan dengan dipungut bayaran.
2.    Hiburan tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. tontonan film;
b. pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
c. kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya;
d. pameran;
e. diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya;
f. sirkus, akrobat, dan sulap;
g. permainan bilyar, golf, dan boling;
h. pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan;
i. panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness center);dan
j. pertandingan olahraga.
  1. Penyelenggaraan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikecualikan dengan Peraturan Daerah.


2.5.3 Subjek Pajak dan Wajib Pajak
Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 43 bahwa:
1.      Subjek Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menikmati Hiburan.
2.      Wajib pajak hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan hiburan.

2.5.4 Dasar Pengenaan Pajak
Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 44 bahwa:
1.    Dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara Hiburan.
2.    Jumlah uang yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk potongan harga dan tiket cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa Hiburan.

2.5.5 Tarif Pajak
Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 45 bahwa:
1.    Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen).
2.    Khusus untuk Hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif pakak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen).
  1. Khusus Hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
4.  Tarif Pajak Hiburan ditetapkan dengan Peraturan Daerah

2.5.6 Besaran Pajak Terutang
Disebutkan dalam UU PDRD No 28 tahun 2009 Pasal 46 bahwa:
Besaran pokok pajak Hiburan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (4) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 44. Pajak Hiburan dipungut di wilayah daerah tempat hiburan diselenggarakan.

2.6 Analisa Masalah
Pajak merupakan sumber utama untuk pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan suatu negara. Secara umum, tujuan adanya pajak adalah sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke Kas Negara berdasarkan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku. Dan Pajak daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting guna memenuhi kas daerah yang diperuntukkan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Serta merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Permasalahan yang dihadapi oleh Daerah pada umumnya dalam kaitan penggalian sumber-sumber pajak daerah dan retribusi daerah yang merupakan salah satu komponen dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan. Untuk itu diperlukan intensifikasi dan ekstensifikasi subyek dan obyek pendapatan untuk mendongkrak penerimaan perpajakan di daerah. Dalam jangka pendek, kegiatan yang paling mudah dan dapat segera dilakukan adalah dengan melakukan intensifikasi terhadap obyek atau sumber pendapatan daerah yang sudah ada.
Dalam konteks Pajak Hiburan, Pemerintah kemudian memperluas basis Pajak Hiburan dengan membaginya ke dalam tiga kelompok tarif Pajak Hiburan yang diperkenankan bagi pemerintah kabupaten/kota untuk menariknya. Pertama, tarif maksimal 35% (tiga puluh lima persen), antara lain untuk pertunjukan sirkus, akrobat, sulap, dan tontonan film. Kedua, tarif maksimal 10% (sepuluh persen) khusus untuk hiburan kesenian rakyat dan tradisional. Ketiga, bertarif maksimal 75% (tujuh puluh lima persen), yakni untuk pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa.
Selain untuk tujuan umum, pajak dapat pula digunakan oleh pemerintah sebagai alat mencapai untuk tujuan-tujuan tertentu (regulerend), seperti membatasi dan mengurangi konsumsi barang yang berdampak negatif secara sosial, salah satunya yaitu kenaikan tarif Pajak Hiburan untuk tempat-tempat hiburan tertentu sebesar 75%. Kenaikan pajak hiburan hingga 75 persen mulai 1 Januari mendatang dimaksudkan untuk menekan tingkat kunjungan ke tempat-tempat hiburan tertentu, seperti panti pijat, karaoke, dan sauna. Penetapan tarif tinggi itu tidak dimaksudkan untuk mengurangi pertumbuhan tempat hiburan mahal ini sebab harga bukan penentu utama datangnya konsumen ke tempat tersebut. Tarif ditinggikan dengan harapan pemerintah kabupaten/kota bisa mengambil manfaat maksimal.
Kenaikan tarif Pajak Hiburan pada Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 ini baru berlaku efektif pada 1 Januari 2010. Menurut Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Departemen Keuangan Budi Sitepu, ketiga jenis hiburan tersebut adalah hiburan mewah yang bukan tergolong kebutuhan pokok. Pajak tinggi itu ditetapkan pada jenis tempat hiburan tertentu yang dianggap memberikan pelayanan mewah dan dinikmati masyarakat berkecukupan. Tempat hiburan seperti panti pijat, karaoke, atau klab malam dikenai tarif tertinggi karena dianggap jasa mewah.
Hiburan tersebut dikenai tarif tertinggi karena tingkat elastisitas terhadap harga jual layanannya rendah. Artinya, meskipun tarif layanannya dinaikkan, tidak akan mengurangi jumlah konsumen sebab pengguna jasanya merupakan kelompok masyarakat kelas menengah ke atas. Dengan demikian, penetapan tarif tinggi itu tidak dimaksudkan untuk mengurangi pertumbuhan tempat hiburan mahal ini sebab harga bukan penentu utama datangnya konsumen ke tempat tersebut. Tarif ditinggikan dengan harapan pemerintah kabupaten/kota bisa mengambil manfaat maksimal.







BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat kami tarik dari pembahasan di atas dalah bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu cara meningkatkan APBD tapi pajak dan retribusi daerah itu harus dilaksanakan dengan benar dan adil oleh pemerintah maupun pembayar pajak, di kenakannya sanksi terhadap orang yang menunggak ataun menyalahkan aturan adalah hal yang benar, seperti yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. seperti juga dijelaskan di atas bahwa terdapat kategori-kategori atau kriteria-kriteria pajak.
Berapa tarif pajak yang di tetapkan yang harus sesuai tidak menjadi beban bagi pembayar pajak, di jelaskan juga jenis-jenis pajak apa saja yang di ambil sseperti pajak perhotelan, pajak hiburan, pajak restoran, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan bahan galian golongan C dan pajak parkir. Di harapkan dengan adanya pembayaran pajak dan retribusi daerah yang tidak membebani masyarakat pembayar pajak dapat berpran mengatur perekonomian masyarakat agar dapat bertumbuh kembang yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.











DAFTAR PUSTAKA

Marihot P Siahaan, S.E 2005. Pajak daerah dan Retribusi Daerah Edisi Pertama, Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.

0 comments:

Post a Comment